Dampak Revolusi Industri 4.0 dan Sumber Daya Manusia
Revolusi biasanya diartikan sebagai suatu perubahan yang
terjadi secara cepat, perombakan, pembaharuan yang radikal, mengganti tatanan
lama menjadi tatanan baru dari kehidupan masyarakat. Namun revolusi lebih
sering diartikan orang sebagai suatu pemberontakan. Revolusi biasanya didahului
oleh adanya evolusi melalui proses yang cukup matang. Meskipun antara revolusi
dan evolusi memiliki pengertian yang berbeda namun antara keduanya sulit
dipisahkan. Revolusi sering juga dilukiskan sebagai suatu perubahan mendasar
yang dapat berakibat mempengaruhi pola pikir masyarakat atau rakyat, kehidupan,
dan cara-cara menata pemerintahan. Revolusi industri memicu timbulnya berbagai
peristiwa yang menjadikan manusia mengerti arti human nature dan lingkungan
masyarakat.
Terjadi berbagai perubahan dalam industri barang-barang dan
dalam perdagangan selama tahun 1700 yang mengantarkan pada peristiwa revolusi.
Revolusi industri menghasilkan cara-cara menggunakan metode-metode produksi dan
pola-pola baru dalam kehidupan ekonomi. Pada revolusi industri, perubahan tidak
hanya terjadi pada aspek industri, namun juga mengubah kehidupan masyarakat di
berbagai aspeknya. Revolusi industri diwarnai oleh berbagai perubahan.
Perubahan cara kerja yang radikal dari penggunaan tenaga manusia menjadi cara
kerja dengan tenaga mesin yang bekerja secara mekanis. Dengan ini dimulailah
zaman mesin yang memberi sumbangan positif maupun negatif bagi masyarakat.
Saat ini, dunia sedang mengalami revolusi industry 4.0. Pada
dasarnya, istilah industri 4.0 adalah hasil dari beberapa tahap sejarah
revolusi industri. Di akhir 18
abad
sebuah transisi berlangsung dari didominasi agrarian dan masyarakat pedesaan di
Eropa terhadap masyarakat industri,yang diprakarsai oleh pengenalan air dan
tenaga uap sebagai sumber energi mekanik produksi. (Balasingham,
2016, p. 3)
Istilah Industri 4.0 lahir dari ide
revolusi industri ke empat. European Parliamentary Research Servicedalam Davies
(2015) menyampaikan bahwa revolusi industri terjadi empat kali. Revolusi
industri pertama terjadi di Inggris pada tahun 1784 di mana penemuan mesin uap
dan mekanisasi mulai menggantikan pekerjaan manusia. Revolusi yang kedua
terjadi pada akhir abad ke-19 dimana mesin-mesin produksi yang ditenagai oleh
listrik digunakan untuk kegiatan produksi secara masal. Penggunaan teknologi komputer
untuk otomasi manufaktur mulai tahun 1970 menjadi tanda revolusi industri
ketiga.
Saat ini, perkembangan yang pesat
dari teknologi sensor, interkoneksi, dan analisis data memunculkan gagasan
untuk mengintegrasikan seluruh teknologi tersebut ke dalam berbagai bidang
industri. Gagasan inilah yang diprediksi akan menjadi revolusi yang berikutnya.
Angka empat pada istilah Industri 4.0 merujuk pada revolusi yang ke empat. Industri
4.0 merupakan fenomena yang unik jika dibandingkan dengan tiga revolusi
industri yang mendahuluinya. Industri 4.0 diumumkan secara apriori karena
peristiwa nyatanya belum terjadi dan masih dalam bentuk gagasan (Drath dan
Horch, 2014).
Istilah Industri 4.0 secara resmi
lahir di Jerman tepatnya saat diadakan Hannover Fair pada tahun 2011 (Kagermann
dkk, 2011). Negara Jerman memiliki kepentingan yang besar terkait hal ini karena
Industri 4.0 menjadi bagian dari kebijakan rencana pembangunannya yang disebut High-Tech
Strategy 2020. Kebijakan tersebut bertujuan untuk mempertahankan Jerman agar
selalu menjadi yang terdepan dalam dunia manufaktur (Heng, 2013).
Beberapa negara lain juga turut
serta dalam mewujudkan konsep Industri 4.0 namun menggunakan istilah yang
berbeda seperti Smart Factories, Industrial Internet of Things, Smart Industry,
atau Advanced Manufacturin. Meski memiliki penyebutan istilah yang berbeda,
semuanya memiliki tujuan yang sama yaitu untuk meningkatkan daya saing industri
tiap negara dalam menghadapi pasar global yang sangat dinamis. Kondisi tersebut
diakibatkan oleh pesatnya perkembangan pemanfataan teknologi digital di
berbagai bidang.Industri 4.0 diprediksi memiliki potensi manfaat yang besar.
Sebagian besar pendapat mengenai
potensi manfaat Industri 4.0 adalah mengenai perbaikan kecepatan- fleksibilitas
produksi, peningkatan layanan kepada pelanggan dan peningkatan pendapatan. Terwujudnya
potensi manfaat tersebut akan memberi dampak positif terhadap perekonomian
suatu negara.Industri 4.0 memang menawarkan banyak manfaat, namun juga memiliki
tantangan yang harus dihadapi.
Drath dan Horch (2014) berpendapat
bahwa tantangan yang dihadapi oleh suatu negara ketika menerapkan Industri 4.0
adalah munculnya resistansi terhadap perubahan demografi dan aspek sosial,
ketidakstabilan kondisi politik, keterbatasan sumber daya, risiko bencana alam
dan tuntutan penerapan teknologi yang ramah lingkungan. Menurut Jian Qin dkk (2016),
terdapat kesenjangan yang cukup lebar dari sisi teknologi antara kondisi dunia
industri saat ini dengan kondisi yang diharapkan dari Industri 4.0. Penelitian yang
dilakukan oleh Balasingham (2016) juga menunjukkan adanya faktor keengganan
perusahaan dalam menerapkan Industri 4.0 karena kuatir terhadap ketidakpastian
manfaatnya.
Berdasar beberapa penjelasan
tersebut maka sesuai dengan yang disampaikan oleh Zhou dkk (2015), secara umum
ada lima tantangan besar yang akan dihadapi yaitu aspek pengetahuan, teknologi,
ekonomi, sosial, dan politik. Guna menjawab tantangan tersebut,diperlukan usaha
yang besar, terencana dan strategis baik dari sisi regulator (pemerintah),
kalangan akademisi maupun praktisi. Kagermann dkk (2013) menyampaikan diperlukan
keterlibatan akademisi dalam bentuk penelitian dan pengembangan untuk
mewujudkan Industri 4.0. Menurut Jian Qin dkk (2016) roadmap pengembangan
teknologi untuk mewujudkan Industri 4.0 masih belum terarah. Hal ini terjadi
karena Industri 4.0 masih berupa gagasan yang wujud nyata dari keseluruhan
aspeknya belum jelas sehingga dapat memunculkan berbagai kemungkinan arah pengembangan.
Revolusi Industri
Keempat mendapat respon sangat baik dari para pemimpin dunia. Dalam Pertemuan
Tahunan World Economic Forum (WEF) 2015, Kanselir Jerman, Angela Markel
menyinggung tentang industry 4.0. Pertemuan Tahunan WEF 2016 bahkan mengambil
tema tentang industry 4.0, lebih
spesifik "Mastering the Fourth Industrial Revolution".Dalam Pertemuan
WEF 2016 tersebut juga disebarkan polling bertajuk "The Future of Software
and Society". Setidaknya 75 persen responden membenarkan dan percaya bahwa
kita sedang dalam era Industri 4.0 yang dapat digambarkan adanya mobil yang
akan berjalan sendiri tanpa sopir, mesin yang mampu membaca pikiran manusia,
dan membuat mobil dalam format tiga dimensi. (Waidl, 2018).
Definisi mengenai Industri 4.0 beragam karena masih dalam
tahap penelitian dan pengembangan. Kanselir Jerman, Angela Merkel (2014)
berpendapat bahwa Industri 4.0 adalah transformasi komprehensif dari
keseluruhan aspek produksi di industri melalui penggabungan teknologi digital
dan internet dengan inustri konvensional. Schlechtendahl dkk (2015) menekankan
definisi kepada unsur kecepatan dari ketersediaan informasi, yaitu sebuah
lingkungan industri di mana seluruh entitasnya selalu terhubung dan mampu berbagi
informasi satu dengan yang lain. (Hoedi Prasetyo, Wahyudi Sutopo, 2018, p. 19)
Pengertian
yang lebih teknis disampaikan oleh Kagermann dkk(2013) bahwa Industri 4.0
adalah integrasi dari Cyber Physical System (CPS) dan Internet of Things and
Services(IoT dan IoS) ke dalam proses industri meliputi manufaktur dan logistik
serta proses lainnya. CPS adalah teknologi untuk menggabungkan antara dunia
nyata dengan dunia maya. Penggabungan ini dapat terwujud melalui integrasi
antara proses fisik dan komputasi (teknologi embedded computers dan jaringan) secara close loop (Lee, 2008).
Hermann dkk (2015) menambahkan bahwa
Industri 4.0 adalah istilah untuk menyebut sekumpulan teknologi dan organisasi rantai
nilai berupa smart factory, CPS, IoT
dan IoS. Smart factory adalah pabrik modular
dengan teknologi CPS yang memonitor proses fisik produksi kemudian menampilkannya
secara virtual dan melakukan desentralisasi
pengambilan keputusan. Melalui IoT, CPS mampu saling berkomunikasi dan bekerja
sama secara real time termasuk dengan manusia. IoS adalah semua aplikasi
layanan yang dapat dimanfaatkan oleh setiap pemangku kepentingan baik secara
internal maupun antar organisasi. Terdapat enam prinsip desain Industri 4.0
yaitu interoperability, virtualisasi,
desentralisasi, kemampuan real time,
berorientasi layanan dan bersifat modular. Berdasar beberapa penjelasan di atas,
Industri 4.0 dapat diartikan sebagai era industri di mana seluruh entitas yang ada
di dalamnya dapat saling berkomunikasi secara real time kapan saja dengan berlandaskan pemanfaatan teknologi
internet dan CPS guna mencapai tujuan tercapainya kreasi nilai baru ataupun
optimasi nilai yang sudah ada dari setiap proses di industri. (Hoedi Prasetyo, Wahyudi
Sutopo, 2018)
Segala
sesuatu pasti memiliki dampak di baliknya, baik yang positif maupun negative. Begitu
pula dengan revolusi indsutri 4.0 yang juga diikuti berbagai dampak positif
maupun negatif. Dampak ini tidak hanya dirasakan oleh kalangan tertentu tetapi
mencakup seluruh aspek, termasuk lingkup sumber daya manusia. Berbeda
dari revolusi yang sebelumnya, revolusi industri 4.0 memiliki efek yang jauh
lebih besar, karena tidak hanya berupa pengembangan dari teknologi yang sudah
ada namun juga bisa menyebabkan tergilasnya berbagai industri konvensional
akibat dunia yang semakin terhubung dan adopsi perangkat serta internet.
Seperti revolusi yang mendahuluinya,
revolusi industri 4.0 memiliki potensi untuk menaikkan tingkat pendapatan
global dan meningkatkan kualitas hidup untuk populasi di seluruh dunia. Sampai
saat ini, orang-orang yang memperoleh sebagian besar dari itu adalah konsumen
yang mampu membelinya dan mengakses dunia digital; teknologi telah membuat
mungkin produk dan layanan baru yang meningkatkan efisiensi dan kesenangan
kehidupan pribadi kita. Memesan taksi, pemesanan penerbangan, membeli produk,
melakukan pembayaran, mendengarkan musik, menonton film atau bermain — ini
sekarang dapat dilakukan dari jarak jauh.
Di masa depan, inovasi teknologi juga
akan mengarah pada keajaiban sisi penawaran, dengan keuntungan jangka panjang
efisiensi dan produktivitas. Biaya transportasi dan komunikasi akan turun,
logistik dan rantai pasokan global akan menjadi lebih efektif. Biaya
perdagangan juga akan berkurang, yang akan membuka pasar baru dan mendorong
pertumbuhan ekonomi.
Pada saat yang sama, seperti para
ekonom Erik Brynjolfsson dan Andrew McAfee telah menunjukkan, revolusi bisa
menghasilkan ketidaksetaraan yang lebih besar, terutama di potensinya untuk
mengganggu pasar tenaga kerja. Sebagai otomatisasi pengganti tenaga kerja di
seluruh perekonomian, perpindahan bersih pekerja oleh mesin mungkin memperburuk
kesenjangan antara kembali ke ibukota dan kembali ke tenaga kerja. Di sisi
lain, hal ini juga mungkin bahwa perpindahan pekerja oleh teknologi akan,
secara agregat, mengakibatkan peningkatan pekerjaan yang aman dan bermanfaat. (Schwab, 2016)
Kita tidak dapat meramalkan saat ini
skenario yang mungkin akan muncul, dan sejarah menunjukkan hasil mungkin
menjadi beberapa kombinasi dari keduanya. Namun, saya yakin satu hal-bahwa di
masa depan, bakat, lebih dari modal, akan mewakili faktor yang penting dari
produksi. Ini akan menimbulkan pasar kerja yang semakin dipisahkan menjadi
"rendah-keterampilan/rendah-membayar" dan
"tinggi-keterampilan/tinggi-membayar" segmen, yang pada gilirannya
akan menyebabkan peningkatan ketegangan sosial. Selain dedikasi ekonomi,
ketidaksetaraan mewakili kepedulian sosial terbesar yang terkait dengan
revolusi industri 4.0.
Revolusi industri yang 4.0,
akhirnya, akan mengubah tidak hanya apa yang kita lakukan tetapi juga tentang siapa
kita. Hal itu akan mempengaruhi identitas kita dan isu-isu yang terkait
dengannya: rasa privasi kita, pengertian kepemilikan, pola konsumsi kita, saat
kita menyerahkan pekerjaan dan rekreasi dan bagaimana kita mengembangkan karir
kita, mengolah keterampilan kita, bertemu orang dan pemeliharaan hubungan. Itu
sudah mengubah kesehatan kita dan menyebabkan diri "diukur", dan
lebih cepat dari yang kita pikirkan dapat menyebabkan augmentasi manusia.
Daftar ini tak ada habisnya karena itu pasti hanya oleh imajinasi kita.
Salah satu tantangan terbesar
individu yang ditimbulkan oleh teknologi informasi baru adalah privasi. Kita
secara naluriah memahami mengapa hal ini begitu penting, namun pelacakan dan
berbagi informasi tentang kami adalah bagian penting dari konektivitas baru.
Perdebatan tentang masalah-masalah mendasar seperti dampak pada kehidupan batin
kita kehilangan kontrol atas data kami hanya akan mengintensifkan di
tahun-tahun mendatang. Demikian pula, revolusi terjadi di bidang bioteknologi
dan AI, yang mendefinisikan ulang apa artinya menjadi manusia dengan mendorong
kembali batas saat ini hidup, Kesehatan, kognisi dan kemampuan, akan memaksa
kita untuk mendefinisikan batas-batas moral dan etika. (Schwab, 2016)
Kabar
baiknya ialah kehadiran revolusi industri keempat tidak sepenuhnya berdampak
negatif seperti yang dikhawatirkan sebelumnya. World Economic Forum memprediksi
empat isu yang akan yang akan memengaruhi pekerjaan pada masa depan. Pertama,
kecerdasan buatan dan robot akan menciptakan lebih banyak pekerjaan, bukan
pengangguran massal. Memang benar bahwa otomatisasi akan menyebabkan beberapa
pekerjaan akan hilang, namun di sisi lain adalah hal ini justru membawa peluang
pekerjaan baru di bidang yang lain. Para ahli ekonomi percaya bahwa yang
terjadi pada masa depan bukan kurangnya lowongan pekerjaan, tapi kurangnya
kemampuan yang sesuai dengan jenis pekerjaan pada masa depan.
Kedua,
setiap kota akan saling berkompetisi memperebutkan sumber daya manusia dengan
talenta terbaik. Persaingan untuk mendapatkan talenta terbaik tidak lagi
berlangsung hanya antarperusahaan, namun akan meningkat menjadi antarkota.
Seiring dengan perkembangan teknologi yang memungkinkan bekerja dari jarak
jauh, masyarakat akan lebih memilih untuk tinggal di kota dengan lingkungan
ramah teknologi dibandingkan dengan tinggal di tempat terdekat dengan kantor.
Ketiga,
sebagian besar tenaga kerja negara maju akan menjadi pekerja bebas (freelance)
sebelum 2027. Para pekerja freelance ini akan didominasi oleh generasi
milenial. Di sisi lain, perusahaanperusahaan dipercaya akan lebih memilih
merekrut para pekerja freelance dibandingkan pekerja tetap untuk mengisi
kekosongan talenta (talent gap) yang mereka butuhkan.
Keempat,
sistem pendidikan berubah dari pendekatan parsial menjadi holistik. Pelajaran
matematika, seni dan ilmu pengetahuan yang selama ini dipandang sebagai
disiplin ilmu yang terpisah dinilai sudah tidak relevan dalam mengisi kebutuhan
kompetensi pekerjaan pada masa depan. Sekolah-sekolah akan mulai mengadopsi
kurikulum berbasis tugas (project-based curriculum) sebagai jembatan
untuk meruntuhkan sekat-sekat yang selama ini menjadi penghalang generasi
berpikir kreatif.
Setiap negara di dunia harus siap
menerima dan mengikuti perkembangan revolusi industri 4.0 dan siap menanggung
dampaknya. Untuk menyambut revolusi industry 4.0 ini, beberapa negara telah
menyiapkan strategi. Salah satunya adalah negara Indonesia.
Making Indonesia 4.0 merupakan peta jalan (roadmap) yang diluncurkan pemerintah
pekan lalu sebagai strategi untuk menghadapi dampak revolusi industri 4.0
terhadap industri manufaktur nasional. (Kusumo, 2018). Dalam Making Indonesia 4.0, pemerintah fokus
pada pengembangan lima sektor manufaktur yang akan menjadi percontohan, yaitu
industri makanan dan minuman (mamin), tekstil dan produk tekstil (TPT),
otomotif, kimia, serta industri elektonik.
Menteri
Perindustrian (Menperin) Airlangga Hartarto mengatakan, untuk menuju industri
4.0 sektor industri nasional perlu banyak pembenahan terutama dalam aspek
teknologi. Pasalnya, penguasaan teknologi bisa menjadi kunci utama untuk
menentukan daya saing Indonesia di era industri 4.0. Sebagai contohnya adalah
bagaimana seluruh negara dunia mulai menguasai teknologi-teknologi seperti
Internet of Things, Big Data, Cloud Computing Artificial Intelegensi, Mobility,
Virtual dan Augmantes Reality. Semuanya harus bisa disesuaikan untuk kemajuan
era industri 4.0. (Hartomo,
2018)
Di sisi lain,
Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Rosan Roeslani juga tidak
menampik bahwa revolusi industri 4.0 berdampak pada tenaga kerja di Indonesia.
Menurutnya, di satu sisi, industry 4.0 akan menghilangkan beberapa pekerjaan
tetapi pada sisi lainnya akan menciptakan pekerjaan baru. Alih-alih
mengkhawatirkan dampak revolusi tersebut, Rosan justru mengimbau agar tenaga
kerja di dalam negeri lebih meningkatkan kemampuannya. Dengan demikian, kata
Rosan, tenaga kerja bisa beradaptasi dengan perubahan yang relatif cepat.
Begitu juga dengan
Airlangga yang menyatakan, dalam rangka menghadapi industri 4.0 , Indonesia
juga perlu meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM)nya. Karena
menurutnya, jika tidak ditingkatkan, maka industri Indonesia akan semakin
tertinggal dari negara-negara lainnya. Jika tidak, masyarakat Indonesia juga
tidak akan mampu bersaing di era ini.
Untuk
meningkatkan kualitas SDM di perguruan tinggi, Kemenristekdikti telah
menyiapkan beasiswa S2 dan S3 baik di dalam maupun di luar negeri. Dosen
Perguruan Tinggi Negeri maupun Swasta dapat mendaftar beasiswa ini.
Kemenristekdikti juga menyiapkan berbagai program untuk meningkatkan kompetensi
peneliti di berbagai lembaga penelitian.Menristekdikti tidak ingin SDM
Indonesia kalah bersaing dengan SDM dari negara-negara lain. SDM Indonesia
diharapkan tidak hanya dapat menjadi tuan rumah di negara sendiri namun juga
dapat berkiprah di dunia Internasional.
Daftar Pustaka
Prasetyo,Hoedi dan Wahyudi Sutopo. 2018.
Industri 4.0 : Telaah Klasifikasi Aspek
dan Arah Perkembangan Riset. J@ti Undip: Jurnal Teknik Industri, Vol. 13,
No. 1, Januari 2018. Diambil dari : https://ejournal.undip.ac.id/index.php/jgti/article/viewFile/18369/12865
(26 Mei 2018).
Gilchrist, Alasdair. 2016. Industry 4.0: The Industrial Internet of
Things. Thailand.
Balasingham,
K. 2016. Industry 4.0: Securing the Future
for German Manufacturing Companies. Master's Thesis. University of Twente.
Bonekamp,
L., & Sure, M. 2015. Consequences of Industry
4.0 on human labour and work organisation. J. Bus. Media Psychol, No.6.
Qin,
J., Liu, Y., & Grosvenor, R. 2016. A
Categorical Framework of Manufacturing for Industry 4.0 and Beyond. Procedia
CIRP, Vol. 52.
Hartomo,
Giri. 2018. Revolusi
Industri 4.0, Menperin Beberkan Masalah Teknologi dan SDM. Diambil dari :
https://economy.okezone.com/read/2018/03/20/320/1875246/revolusi-industri-4-0-menperin-beberkan-masalah-teknologi-dan-sdm
(26 Mei 2018).
Schwab, Klaus. 2016. The 4th Industrial Revolution: What It
Means, How to Respond. Diambil dari : https://www.ge.com/reports/the-4th-industrial-revolution-what-it-means-how-to-respond/
(26 Mei 2018)
Komentar
Posting Komentar